(Sekolah dan Labilitas adalah proses menuju kedewasaan. Ini ceritaku. Tidak ada yang mustahil di dunia ini. Bismillah :'))

Pages

Jumat, 12 Agustus 2011

Berbagi Cerita


My Lovely Dad....
I will tell your story in here...
A lifestory...

Sebuah cerita hidup yang diceritakan oleh ayahku tercinta...yang bisa membuatku sangat termotivasi saat itu..membuatku untuk tidak menyalahkan Sang Pembuat Keputusan. Bahwa Allah itu Maha Adil dan Bijaksana...

Mungkin dulu ini adalah masalah sepele yang dialami pada masa-masa remaja sepeti aku ini. Tapi waktu itu aku nggak bisa berfikir sehebat pemikiran beliau, ayahku tercinta....

Begini prolognya...dimulai dari ceritaku dulu teman...

Waktu itu adlah waktu pas ramai-ramainya pendaftaran sekolah. Yah,,waktu ramai-ramainya tahun ajaran barulah...nah, alhamdulillah kok adekku bisa keterima di SMAN cukup favorit-lah di daerahku.

Jadilah adekku sekolah disana. Tapi emang dasar akunya yang sukak iri mungkin. Gara-gara semua itu aku jadi sensitif sama adek. Kenapa dia boleh sekolah di SMAN, kenapa dia enak? Enak bisa sekolah satu kota bareng orang tua, mungkin fasilitas, makanan, sudah tersedia semua di rumah. La terus aku???ngapain disini? Sekolah jauh dari orang tua, tinggal di sebuah asrama yang banyak peraturannya, fasilitas dan makanan pun harus cari-cari dulu.

Perubahan sikapku mungkin sangat sengaja aku tonjolkan. Agar semua satu keluarga paham, sadar, apa yang aku rasain waktu itu. Dan usahaku pun berhasil, berhasil membuat semuanya semakin menjadi rumit. Membuat ayah dan ibu merasa menjadi sangat bersalah. Mereka merasa sangat tidak adil kepada anak-anaknya. Saat itulah aku merasa menjadi anak yang berdosaaa sekali...anak yang tidak punya rasa terima kasih kepada orang tua, tepat saat ayah menceritakan cerita ini kepadaku:

“Sang Pedagang Asongan”

Itu judulnya teman. Sederhan. Sesederhana ceritanya. Tapi ambil hikmah dari cerita ni setelah kalian baca nanti (mungkin, tapi terima kasih kalau kalian telah membaca tulisanku ini).

Begini ceritanya :

Ada seorang pedagang asongan. Yang telah lelah berjualan dari malam sampai pagi, mungkin juga dari pagi lagi sampai sore. Apapun dia kerjakan selagi bisa menghasilkan uang yang halal dan cukup barokah untuk makan bersama anak-anak dan istrinya. Tapi apa hasilnya, barangnya satu pun belum ada yang terjual. Satu pun. Apa yang ada di pikirannya saat itu? Dia hanya berhusnudzon kepada Tuhannya.
 “Kenapa belum ada rezeki yang datang hari ini? Ahh...memang belum pantas aku mendapat rezeki hari ini. Aku masih belum beribadah dengan baik” batin pedagang asongan.

Setelah berdoa, pedagang asongan itu pun melanjutkan untuk berjualan lagi, berkeliling dan menawarkan dagangan-dagangannya. Tapi hari itu pun ia belum juga diberi rezeki sepersen pun.
Yahhh...apa boleh buat? Hari sudah malam, sebaiknya dia segera pulang agar besok tidak kelelahan dan kembali bersemangat untuk berjualan lagi. Seperti kebiasaan wilayah sekitar, pedagang2 yang ingin pulang bsa menaiki beberapa truk yang memang telah disediakan. Waktu itu si pedagang asongan naik di truk terakhir. Rumahnya memang sangat jauh. Naik dan periksa dulu...loo??ada apa?ternyata  barang dagangan si pedagang asongan tertinggal di toilet sebelum dia nak ke truk tadi, bagaimana ini? Si pedagang asongan pun lari untuk segera mengambil barang dagangannya di depan toilet. Lari dan lari. Tapi alhamdulillah, dagangannya mungkin sudah raib jika terlambat semenit pun. Beruntung dia datang tepat waktu. Karena waktu itu banyak preman-preman mabuk yang hampir menggondol semua barang dagangan asongan itu.

Si pedagang asongan segera kembali ke truk. Tapi, sungguh malang nasibnya, dia tertinggal truk itu. Bagaimana nasib anak istrinya jika memang dia tidak pulang malam itu? Kelaparan? Kedinginan? Atau apalah, yang pasti dia sangat cemas.

Kilat menyambar pertanda hujan deras akan datang. Pedagang asongan pun kembali mulai menyalahkan. Menyalahkan siapa? Dia? Aku atau memang Dia yang salah? Atau memang Dia, Dia yang pantas disalahkan? Pedagang asongan tidak mau menyalahkan dirinya sendiri. Kenapa harus ‘aku’ yang disalahkan? Toh ‘aku’ juga sudah bekerja keras. ‘aku’ juga sudah berdoa kepada-Mu, memohon agar ‘aku’ diberi  rezeki  yang cukup  untuk sekeluargaku. Agar mereka tidak kelaparan. Sombongkah ‘aku’? ‘Aku’ sudah memohon kepada-MU. Tapi kenapa Kau perlakukan ‘aku ‘ seperti ini Tuhan?

‘Engkau memang tidak adil! Mana katanya Kau Yang Maha Adil? Kau Yang Maha Pemurah? MANA!!’
Sudahlah, ‘aku’ sudah capek dengan semua permainanmu. Sebaiknya pulang saja ‘aku’ dengan berjalan kaki, sampai, dan tidur di rumah. Tidak usah beribadah dulu, sebelum Kau menunjukkan dulu semua keadilan-Mu itu.

‘Aku’ lelah....

Benar-benar lelah sekali....
Keesokan paginya, pedagang asongan bangun dan melihat istri di sampingnya. Hei,,kenapa dia melihatnya seperti itu?Kenapa istriku melihatku seperti itu?

Tidak lama kemudian, dia tahu jawabannya.

‘’kenapa kamu melihatku seperti itu? ‘’

Dan tahu apa jawabannya? Tidak ada jawaban yang keluar. Malah muncul beberapa pertanyaan dari istriku.
 Setelah aku menyangkal bahwa aku tidak perlu diberi tatapan kasihan seperti itu. Untuk apa? Sudah pasti dia menanyakan kenapa aku pulang dalam keadaan mabuk kemarin malam? Kenapa larut sekali? Mana suaminya yang ‘suka bertahajud’ dulu? Kenapa berubah drastis hari ini? Jangankan tahajud, subuh-lah ibadah penyambut hari barokah yang Dia berikan saja tidak dilakukannya hari itu.

Beberapa kalimat keluar dengan lancar sekali dari mulutku menceritakan kejadian-kejadian kemaren yang berjalan seenaknya saja menurutku. Mulai dari berjualan yang tidak mendapat uang sepersen-pun. Sampai tertinggal truk dan pulang dengan jalan kaki di bawah derasnya hujan dan kilat-kilat yang menyambar. Sampai-sampai lagi, tentang aku berteriak-teriak menyalahkan Tuhan Yang Maha adil itu? Tapi mana buktinya? Biasalah, istriku menanggapi dengan tangisan. Kenapa sih perempuan selalu pakai perasaan? Masalah sesepele apapun bisa dibuat menangis oleh wanita. Jenuh. Akhirnya aku meninggalkan rumah, tetapi tidak untuk bekerja. Buat apa?

Saking jenuhnya, aku berjalan sempoyongan keluar rumah. Entah akan kemana langkahku ini. Tapi tiba-tiba aku menoleh ke arah si penjual koran. Ada edisi koran terbaru. Hotnewsnya kecelakaan. Selalu seperti itu di negara kita. Banyak tragedi kecelakaan. Kecelakaan. Kecelakaan satu truk yang mengakibatkan semua penumpangnya tewas tak bersisa satu pun. Haahhh... Indonesia. Selalu dan selalu seperti ini.

Apaaaaaaaaa....????????

Kecelakaan satu truk?????

Baca sekali lagi, kecelakaan satu truk mengakibatkan semua penumpangnya tewas tak bersisa satu pun.? Kalau tidak salah, itu gambar truk yang akan aku tumpangi kemaren. Beli satu. Aku akan beli satu koran ini. Cepat berlari ke rumah, membaca berita tsb.

Tidak ada yang melebihi rasa syukurku hari itu. Tuhan punya rencana lain yang paling baik. Aku diselamatkan dari kecelakaan besar itu. Tuhan menyelamatkanku. Kenapa aku tidak pernah berpikir? Berpikir positif tentang Dia. Benar-benar bodoh. Aku menyesal. Kalau saja Dia tidak meninggalkan barang daganganku di depan toilet. Kalau saja Dia tidak membiarkanku jalan saja kemaren malam. Walaupun dengan seenaknya sendiri memaki-makinya. Menyalahkan. Dan sampai berani-beraninya aku menyumpahinya.

Untuk apa aku tetap duduk begini? Apa ada gunanya? Apa tuhan akan mengampuniku?

Tidak. Aku harus segera membersihkan diri. Mandi dan bersihkan diri dari bau alkohol yang sangat menyengat ini. Aku jijik sendiri. Jijik dengan tubuhku sekarang. Apa aku masih dimaafkan? Pasti. Pasti aku dimaafkan. Dia Maha Pemaaf. Tidak mungkin aku tidak dimaafkan.

Aku sangat menyesal. Inilah pengalaman hidup yang sangat menggetarkan hatiku. Setelah peristiwa ini aku tidak akan pernah seenaknya sendiri menyalahkan keputusan yang Tuhan berikan kepadaku. Terrima kasih. Terima kasih banyak Allah. Tuhan Yang paling Adil dalam membuat keputusan. Engkau masih melindungiku. Dan sayang kepadaku.

Seperti itu ceritanya teman. Si pedagang asongan yang belajar dari sebuah pengalaman hidup. Pengalaman hidup yang membuatnya bersyukur kepada Allah swt. Membuatnya lebih menghargai hidup ini. Melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih berguna. Membuat hidup ini lebih berarti untuk orang-orang di sekitar kita.

Itulah cerita dari ayahku. Bercerita saat aku menyalahkan juga keputusan yang dibuat-Nya kepadaku. Aku jadi sangat bersyukur disekolahkan jauh dari orang tua. Lihat sisi baiknya. Aku bisa jadi  lebih mandiri mungkin. Aku tidak seenaknya sendiri menghambur-hamburkan uang. Lebih enak ternyata. Hidup bersama dengan orang-orang yang senasib dengan kita. Banyak teman. Aku juga bisa lebiih menghargai hidup. Dan tentunya aku lebih bersyukur kepada Allah swt.

Aku tidak lagi iri dengan keadaan adikku. Mungkin malah dia lebih kasihan sekolah disana. Lebih diawasi orang tua. Hahahahahaha. Kasihan sekali.

Thanks yaa.. yang sudah mau membaca ceritaku. Cerita yang aku tulis sendiri sampai jam 3 pagi. (jangan heran kalau bahasanya amburadul). Memang gak punyak bakat nulis kok. Aku hanya ingin berbagi cerita kepada kalian semua. Pede-pedean jadi penulis amatiran untuk kali ini. Semoga aku isa jadi penulis handal. Menulis cerita yang bermanfaat lagi.

Thanks very much. Arigato. Dan terima kasih banyak.....

terima kasih juga buat orang tuaku.....
aku berhutang banyaaakkk..sama mereka berdua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar